1. Teknis pengarahan.
2. Storytelling konsisten baik.
3. Pengembangan karakter yang lebih banyak dan lebih kompleks.
1. Teknis pengarahan.
Sejauh aku mengamati di film ini cukup banyak ditemukan scene dengan long-take, ini langkah yang berani tapi efektif menjadikannya lebih realistis.
Suka banget long-take ciuman Arini dan Ican, long-take di awal film di acara pernikahan dengan gerakan kamera yang diamis juga asik banget dan yang paling kusuka adalah long-take meninggalnya tetangga Ican, cara ini efektif sekali menjadikannya lebih realistis dan mengajak penonton untuk ada dalam situasi adegan, kegaduhan, kesedihan, kepanikan pemeran dapat benar dirasakan penonton, ini keren.
Lalu ada scene di mana dibutuhkan close-up, close-up ke Ican mampu memperlihatkan detail ekspresi dan emosi dari Ican yang menjadikannya lebih "hidup", pun pada close-up ke Arini yang memberikan rasa cinta lebih ke Arini walau yang diperlihatkan hanya sebelah mata dan telinganya saja.
Sepertinya Andibachtiar Yusuf suka sekali dengan detail, banyak detail menarik, seperti Madagaskar, dan ambience sound yang bising nan natural yang bikin penonton ikut berada di lingkungan sekitar.
Pengambilan gambar super kece dan bermakna, pencahayaan electric-neon masih digunakan yang menurutku sebagai simbol tema film ini, romantis tapi menyetrum.
2. Storytelling konsisten baik.
Andibachtiar membuat narasi yang sebenarnya sama dengan sebelumnya, masih penuh misteri, dan Arini menghancurkan ekspektasi lelaki tetapi pengembangan cerita yang membawa background keluarga adalah cerdas.
Jika di film pertama yang merasakan sakit adalah 1 individu, tetapi di film kedua ini ceritanya memberikan rasa sakit di banyak individu yang percayalah ini lebih ambyar beb.
Sedikit background Arini yang dilihatkan tetapi masih dibuat misteri, dan kejutan-kejutan lainnya.
3. Pengembangan karakter yang lebih banyak dan lebih kompleks.
Karena latar cerita tentang keluarga maka mau tidak mau dibutuhkan karakter yang lumayan banyak, tetapi di film ini tidak menyianyiakan karakter-karakter itu, aku merasa ini dijelaskan dengan baik mulai dari sifat karakter, permasalahan masing-masing karakter, sampai detail kecil seperti umur kandungan, dll.
Kita bisa terasa dekat dengan keluarga Sikumbang karena pendalaman karakter yang apik dan natural. Adipati apik menggambarkan cowok bebas tapi penuh beban karena tuntutan mamaknya, Ibu Ros yang dibawakan penuh penghayatan, dan salut kepada Bastian Steel yang cukup mengejutkan karena aktingnya yang baik memerankan karakter rebel nan rapuh.
Dengan aspek-aspek bagus di atas dapat menjadikan film ini adalah film sekuel Indonesia yang berhasil (sejauh menurutku), lantas apakah sesempurna itu juga? hmm mungkin bisa gak juga, karena sebenarnya film ini pendekatan ke karakternya agak terlalu lamban dan tidak seasik di film pertama, mungkin bisa menjadi bosan dan pendekatan karakternya terkesan mudah dilupakan dibanding film pertama tetapi di sisi lain, sebenarnya ini bisa menjadi penggambaran karakter yang lebih kompleks.
Dengan pengarahan yang sungguh baik, pendalaman karakter yang kompleks dan apik dan kualitas narasi tidak kacangan mengemas Love For Sale 2 menjadi film yang menyetrum dengan meremukkan ekspektasi tokohnya dalam sajian yang indah.